3. Rahasia Ibu ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ SEPULANG dari pasar Ibu muntah-muntah di depan pintu. Ia memegangi perutnya beberapa kali, lalu buru-buru ke kamar mandi. Aku dibuat bingung. Kuikuti langkah Ibu dari belakang tanpa bisa berkata-kata. Lalu kuintip dari balik pintu. Begitu Ibu keluar, aku langsung bertanya, “Ibu sakit?” Wajah Ibu pucat. “Cuma mulas, Ning,” jawabnya sambil tersenyum. “Perlu Nining belikan obat, Bu?” “Tidak perlu.” Tidak perlu, demikian jawab Ibu. Dan ini entah untuk yang ke berapa kali. Setiap kali kutawarkan obat, Ibu selalu bilang tidak perlu. Padahal Ibu belakangan ini sering muntah-muntah tanpa kuketahui penyebabnya. Dan Ibu selalu menolak minum obat. Aku juga tak mengerti, mengapa Ibu tiba-tiba bisa diserang penyakit aneh itu. Setahuku, Ibu tak pernah makan sambal atau makan makanan panas lainnya. Tak mungkin kalau cuma mulas Ibu sampai muntah-muntah seperti itu. Ataukah ini akibat terlalu banyak makan buah mangga muda yang dicarikan Ayah kemarin? Dalam keadaan demikian, yang dapat kulakukan hanya ikut meringankan pekerjaan ibu. Sepulang sekolah aku membantu memasak di dapur, mencuci piring, mengepel lantai atau mengisi bak kamar mandi. Kalau Ibu nampak capek sekali, dan tertidur di sofa, kudekati Ibu; kupijiti tangan, kaki, tengkuk dan keningnya. Setelah itu biasanya Ibu akan tersenyum dan mengecup keningku. Kemudian aku pun kembali bertanya, “Katakanlah, Bu. Ibu sakit apa?” Namun seperti hari-hari kemarin, Ibu cuma tersenyum. “Percayalah, Nining. Ibu cuma mual biasa saja, jawabnya. Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Tapi aku kurang percaya. Ibu sangat aneh, seolah-olah menyembunyikan sesuatu dalam dirinya. Inilah yang membuatku penasaran. *** SORE itu, setelah aku selesai mengepel Iantai, Ibu berkata, “Nining, nanti setelah mandi, kau mau kan ikut mengantarkan Ibu ke rumah sakit?” “Tentu saja, Bu. Mau berobat?” “Ya. Mau periksa perut Ibu yang mulas ini,” jawab Ibu sambil memegangi perutnya. “Nah, begitu dong, Bu. Coba periksa ke dokter dari kemarin-kemarin, pasti sudah sembuh!” aku tersenyum gembira. Tak lama kemudian, bersama Ayah, aku mengantarkan Ibu ke rumah sakit. Letak rumah sakit itu tidak jauh. Cukup mengendarai Bajaj, dalam waktu sepuluh menit kami sampai. Ketika Ibu sedang diperiksa oleh dokter, aku gelisah di ruang tunggu. Aku berjalan mondar-mandir. Untuk menghilangkan kegelisahanku, kucoba melihat-lihat lukisan yang tertempel di dinding rumah sakit itu. Herannya, Ayah nampak tenang-tenang saja. Padahal aku merasa begitu cemas. Aku khawatir Ibu menderita penyakit berat. Aku sering mendengar tentang penyakit diare, desentri dan kolera. Itu adalah jenis penyakit perut yang sangat berbahaya. Apalagi wabah muntaber sekarang ini sedang merajalela di daerahku. Kata Pak guru, penyakit muntaber itu muncul dari makanan dan minuman yang tidak bersih. Orang yang hidupnya jorok lebih banyak kemungkinannya terserang penyakit yang dapat merenggut nyawa manusia tersebut. Ah, jangan-jangan Ibu telah diserangnya! Aku semakin cemas. Di ruang tunggu itu aku terus berdoa dengan khusuk, “Ya Allah, ya Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang... hindarkanlah Ibu dari segala penyakit dan marabahaya...”. Begitu ibu keluar, aku dan Ayah langsung menyerbunya. “Bagaimana, Ma?” tanya Ayah langsung saja. “Betul, Pa. Alhamdulillah...telah berisi!” ibu tersenyum cerah. “Alhamdulillah...puji syukur bagi Engkau ya, Allah..., Allahu Akbar,”Ayah mengeluarkan napas lega. Serta merta ia mengangkat kedua telapak tangannya mengucapkan doa. Ayah begitu gembira. Setelah itu dikecupnya perut ibu. Lalu seperti anak kecil tiba-tiba Ayah menari-nari di ruang tunggu rumah sakit itu sehingga beberapa pasien yang ingin berobat tersenyum-senyum geli melihatnya. Aku hanya terbengong-bengong melihat kejadian itu. Untung Ibu segera mengingatkan. “Ayah, jangan begitu, dong. Malu. Ini kan di rumah sakit!” bisik Ibu. Setelah itu barulah Ayah sadar di mana dia berada. Ia mengucap istighfar berkali-kali. “Oh, maafkan. Mungkin saking gembiranya aku jadi lupa diri,” ucap Ayah. ibu hanya senyum-senyum. Kami segera keluar dan rumah sakit itu. Sambil berjalan aku terus saja dibuat bertanya-tanya. “Tadi Ibu mengatakan... telah berisi. Apa maksudnya, Bu?” akhirnya aku bertanya juga di dalam mobil taksi saat pulang. “Perut ibu telah berisi adik, Ning. Kau mau kan punya adik?” jawab ibu tersenyum sambil mengelus perutnya. “Berisi adik...??” aku bertambah heran. “Iya, Nining. Ibumu telah hamil. Nanti kau akan punya adik. Kalau perempuan pasti ia secantik kamu. KaLau laki-laki ia segagah ayah!” jelas Ayah. “Kau mengerti?” lalu Ayah tertawa-tawa. Aku hanya mengangguk-angguk antara mengerti dan tidak. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================